"Kasih Ibu" Seekor Trenggiling

trenggiling
Dalam mikro-letter daratan tiongkok terdapat sebuah artikel berjudul "Cinta Kasih Ibu" Seekor Trenggiling, Sekeras Apapun Hati Anda, Pasti Akan Terharu Usai Membaca", yang ditulis adalah kisah temannya, seorang pejabat dari daratan Tiongkok beserta beberapa kolega ketika bermain di sebuah kota, melihat pedagang kuliner di situ ada yang menyajikan proses penyembelih trenggiling hidup sampai memanggangnya. Mereka pun merasa tertarik dan ingin menyaksikan sendiri seluruh proses penyajian hidangan lezat itu. 

Namun, dalam adegan selanjutnya telah membuat temannya itu berubah pikiran dan bahkan hampir saja tak tahan membendung air matanya.

Konon, hewan trenggiling setelah tertangkap, karena ketakutan atau defensif secara naluri dan secara otomatis tubuhnya akan menggulung sendiri dengan sangat erat bak sebuah lingkaran atau bola.
Pada umumnya penjualan trenggiling adalah demikian: Setelah dipilih oleh pembeli, penjual akan sekuat tenaga menarik hingga lurus trenggiling yang meringkuk itu, selanjutnya dada dan perut dibelah, organ-organ dalam dikeluarkan, kemudian dicuci bersih, dijepit dengan jepitan besi dan dipanggang di atas bara api sampai sisik tebal di tubuhnya rontok semua.

Temannya menceritakan, waktu itu persediaan cukup banyak, dalam kandang dipenuhi trenggiling besar maupun kecil yang "melungker", para pejabat itu memilih beberapa ekor yang besar, dan menyatakan ingin menyaksikan langsung seluruh proses lalu merasa puas.

Seorang pemuda penjual mengambil pilihan trenggiling yang paling gemuk, lalu dengan ketrampilannya siap menarik lurus trenggiling yang dipegangnya itu, namun dengan sekuat tenaga ia tak mampu juga menarik lurus pemakan serangga terutama semut dan rayap tersebut.

Giliran orang-orang yang menyaksikan merasa heran, penjual muda itu juga merasa kehilangan muka, maka dibantinglah si trenggiling malang itu ke lantai dengan keras, sambil menjelaskan trenggiling akan membuka dirinya jika kesakitan. Tidak dinyana bantingan berkali-kali itu malah membuat sang trenggiling meringkuk lebih erat, dan mata sipit trenggiling yang semula terlihat ketakutan telah tertutup dengan rapat, dari sudut moncong yang runcing itu mengalir darah segar, akan tetapi tubuhnya tidak nampak menjadi lurus, malah terkesan semakin melungker dengan erat. 

Rombongan tidak tega menyaksikan kondisi trenggiling itu dan melambaikan tangan memberi isyarat tidak ingin diteruskan lagi. Pemuda penjual masih belum puas, diambillah jepitan besi lalu menjepit trenggiling kemudian diletakkan di atas api panggang, sisik keras berontokan, bau terbakar menebar luas, posisi trenggiling itu tetap tidak berubah.

Pemuda penjual tidak berdaya lagi, dan menggelengkan kepala sambil berkata trenggiling ini pasti bermasalah, tidak layak dikonsumsi, sambil membuangnya di lahan pasir yang terletak di belakangnya. Kemudian dipilih lagi 2 ekor lainnya, proses pengolahanpun berjalan dengan sangat lancar dan tidak sampai 5 menit telah selesai.

Selanjutnya teman itu mengatakan, ketika beberapa temannya sedang membayar, tanpa disengaja terlihat trenggiling naas tadi yang terbuang di atas pasir itu perlahan-lahan meluruskan tubuhnya, kelopak matanya terbuka sedikit, disusul dengan beberapa kedutan, lantas menjadi lurus kaku dan tidak bernyawa lagi. seiring dengan tubuhnya menjadi lurus, mereka semua dikejutkan oleh gerakan lembut dari perut yang terkapar, muncullah seekor trenggiling kecil yang tubuhnya transparan, hanya sebesar seekor tikus, perlahan-lahan ia membuka mulutnya yang kecil, seakan-akan sedang memanggil induknya yang sudah kaku tak bernyawa itu.

Pemandangan tersebut membuat semua orang terpana. Dalam sekejap saya merasakan darah dalam tubuh bergelora, kepala dan rambut seakan membengkak, air mata bergulir dalam kelopak mata. Berat badan trenggiling itu tidak melebihi 5 kg, namun tubuhnya telah mengalami bantingan dan pembakaran, hingga napas terakhir masih saja melindungi anaknya, tubuh yang telah terpanggang setengah matang, sisik pun rontok semua, namun masih tetap berhasil melindungi keutuhan jiwa dan raga anaknya, kekuatan semangatnya telah jauh melampaui batas kehidupan.

Sesungguhnya banyak hewan memang seperti itu, ketika seekor lembu terancam jiwanya oleh kawanan singa, induk lembu akan mengabaikan ancaman bahaya atas jiwanya, tanpa ragu menerjang demi melindungi sang anak. Ketika kuda nil kecil diserang oleh buaya buas, induk kuda nil yang herbivora itu, di saat situasi genting, demi melindungi anaknya ia akan tanpa segan menggigit hancur buaya itu. Sejumlah hewan predator, walau bersifat buas, namun akan memberi perawatan yang sangat telaten kepada anaknya sendiri, seperti pepatah mengatakan, sebuas-buasnya harimau tidak akan memangsa anaknya sendiri.

"Cinta kasih induk" hewan begitu mengharukan dan patut dipuji, cinta kasih ibu seorang manusia lebih menyentuh hati. Ada yang mengatakan, kasih ayah bagaikan gunung, kasih ibu bagaikan air. Juga ada yang mengatakan, kasih ibu bagaikan payung, walau sudah butut, namun dapat melindungiku dari sengatan matahari dan terpaan hujan. Kasih ibu merupakan sebuah harapan tanpa suara, walau tanpa kata-kata, namun sangat menggetarkan hati. (sumber: majalah epochtimes)

0 Response to ""Kasih Ibu" Seekor Trenggiling"

Posting Komentar