KEBEBASAN FINANSIAL


Judul ini mengingatkan penulis pada saat penulis baru menyelesaikan studi di Gadjah Mada. Selesai prosesi wisuda dilaksanakan, ada komentar dari seorang teman: “Satu masalah sudah selesai, dan muncul masalah baru bagaimana kita harus mencari pekerjaan lagi”.


Yang menarik adalah komentar teman lain menimpali statement itu. “Era tahun 98 kita berjuang mencari kebebasan dari belenggu Orba dengan menggulirkan reformasi, tetapi sekarang setelah era berganti dan kita terbebas dari beban kuliah kenapa kita justru harus mencari pekerjaan yang secara waktu, pikiran dan tenaga kita menjadi akan terbelenggu”. Rasa-rasa selama kita masih terbelenggu secara finansial maka waktu, tenaga dan pikiran kita akan menjadi bagian atau subordinat dari orang lain (baca: belum bebas).

Dalam referensi penulis, bebas finansial bukan berarti kita harus memiliki banyak uang, tabungan atau kaya raya. Bebas secara finansial adalah seseorang yang mampu terlepas, atau mampu mengubah paradigma berpikir dari bekerja untuk mencari uang menjadi bekerja untuk aktualisasi diri.
Seseorang bebas finansial jika mereka mampu membuat uang bekerja keras untuk penghidupan mereka. Mereka dapat bertahan hidup dengan atau tanpa harus bekerja keras. Sebagai contoh seorang rekan saya di usia yang relatif muda sudah memiliki penghasilan dari satu unit usahanya sebesar Rp.5.000.000,- per bulan tanpa harus bekerja keras. Aset yang dimilikinya telah mampu menciptakan pasif income. Dia tidak harus bangun pagi hari, pulang petang untuk mendapatkan penghasilan di atas rata-rata penghasilan para pegawai.
Ada nasehat baik dari rekan saya ini, dan tidak ada salahnya jika saya berbagi nasehat ini kepada para pembaca. Nasehat itu adalah, jika kita ingin bebas secara finansial, maka ciptakan dalam diri kita kemampuan untuk melihat dan membedakan tiga hal berikut ini:

Kebutuhan vs Keinginan.
Kunci pertama untuk bebas finansial adalah kita harus mampu membedakan mana itu kebutuhan dan hal-hal mana yang termasuk keinginan. Memang tipis batasan antara keinginan dan kebutuhan, tetapi semakin tinggi kemampuan kita membedakan antara kebutuhan dan keinginan, maka akan semakin cepat kita mencapai sebuah kebebasan finansial. Suatu hal yang tidak bisa kita pungkiri adalah semakin tinggi penghasilan kita, maka akan semakin tinggi pula nilai konsumsi kita. Hal ini terjadi karena kita tidak bisa mengenali mana kebutuhan dan keinginan.
Saya jadi teringat cerita ketika dulu petani lada di bangka panen raya, banyak penduduk kampung yang membeli kulkas meski di daerah mereka belum ada listrik. Ini sekedar contoh mengenali mana sebuah kebutuhan dan mana sebuah keinginan. Tirulah bagaimana orang bisa menjadi kaya, bukan meniru bagaimana orang kaya bisa.


Aset vs Liabilitas
Kunci kedua adalah kita harus mampu membedakan antara sebuah aset dengan sebuah Liabilitas. Aset adalah suatu hal yang bisa kita miliki dan akan dapat menambah isi kantong kita. Sedangkan Liabilitas adalah sesuatu yang bila dimiliki dia hanya akan menguras isi kantong kita.
Sebagai contoh sebuah mobil, setiap hari mobil membutuhkan bensin, oli dan setiap tahun kita wajib membayar pajak dan menservisnya. Mobil mebutuhkan biaya untuk mengoperasionalkannya. Tiap waktu tiap saat kita dipaksa mengeluarkan biaya untuk perawatannya.
Dalam hal ini mobil yang kita miliki berfungsi sebagai sebuah liabilitas karena mobil ini akan menguras keuangan yang ada dalam kantong kita.
Namun tidak selalu mobil hanya berfungsi sebagai liabilitas, mobil dapat pula berfungsi sebagai aset. Mobil yang kita miliki dapat berfungsi sebagai sebuah aset yang dapat menambah isi kantong kita. Sebagai contoh, jika mobil ini disewakan, maka mobil ini dapat memberikan tambahan penghasilan.

Entrepreneur vs Employer
Cara ketiga untuk meraih kebebasan finansial adalah dengan menjadi seorang entrepreneur.
Saya sering mendengar anekdot bahwa ada cara yang lebih mudah untuk menggapai kebebasan finansial, misalnya jika anda seorang pegawai maka anda bisa kaya dengan korupsi. Atau jika anda seorang bujangan, maka anda bisa kaya dengan memperistri atau memiliki mertua kaya untuk menjadi bebas secara finansial, bahkan jika anda seorang penggangguran pun bisa menjadi kaya dengan cara memenangkan lotre.
Sekali lagi ini hanya sebuah anekdot. Tidak ada cara menjadi kaya dengan mudah, segalanya membutuhkan doa dan usaha.
Ada sebuah ilustrasi sederhana yang saya peroleh ketika mengikuti pelatihan sebuah bisnis jaringan. Perbedaan antara seorang karyawan dengan seorang entrepreneur adalah tergambar dalam cerita berikut ini:
Di sebuah desa seberang bukit hiduplah dua orang pemuda bernama Bill dan Edward. Kedua pemuda ini sama-sama mendambakan masa depan mereka akan memiliki kehidupan yang mapan, tentram dan berkecukupan.
Kedua pemuda ini sering berdiskusi, bekerja dan berusaha untuk mencapai apa yang mereka impikan.
Sampai suatu saat ada sebuah pengumuman dari kepala desa yang membutuhkan tenaga para pemuda desa untuk memindahkan air dari sebuah mata air di bukit ke tempat penampungan air di desa itu.
Dengan cepat Edward menangkap peluang ini. Hari demi hari Edward bekerja keras membawa ember-ember penuh air. Ia langsung menghasilkan uang saat bekerja keras dari pagi hingga petang menyusuri jalan setapak menuju mata air di kaki bukit seberang desa itu.
Setiap pagi ia harus bangun sebelum yang lain supaya bisa memastikan ada cukup air bagi penduduk desa saat mereka memerlukannya.
Dia berprinsip bahwa dengan bekerja keras, maka semakin banyak air yang dapat ia pindahkan. Dengan demikian semakin banyak pula penghasilan yang ia peroleh.
Berbeda dengan Edward, Bill yang menyadari bahwa dia tidak memiliki fisik sekuat Edward, dia justru pergi meninggal desa. Dia tidak terlihat selama berbulan-bulan, yang membuat Edward sangat senang karena ia menjadi tidak memiliki saingan. Hingga satu tahun kemudian Edward yang telah bekerja keras mampu memiliki kehidupan yang lebih baik.
Sekembalinya Bill ke desanya dengan berbagai peralatan yang ia bawa, Bill segera membangun sebuah pipa saluran yang menghubungkan mata air di kaki bukit dengan bak penampungan di desa, berbulan-bulan dia bekerja membangun pipa saluran air tersebut. Banyak warga desa yang melecehkan usaha Bill.
Sampai akhirnya selesai juga pipa saluran air itu. Setiap saat setiap waktu dengan sistem yang dibangunnya Bill mampu mensuplai kebutuhan air untuk warga desa selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, sementara Edward hanya bisa mengantarkan air pada hari kerja. Bill, di lain pihak sadar bahwa jika desa itu membutuhkan air berarti desa-desa yang lain juga membutuhkannya. Ia menulis ulang rencana bisnisnya dan pergi untuk menjual sistem penyaluran air bersihnya yang berkecepatan tinggi, bervolume besar, dan berbiaya rendah ke desa-desa lain. Bill saat ini sudah dapat bersantai menikmati hasil kerja cerdasnya membangun saluran air. (Penulis: M.Syamsul Ma’rif, Alumnus Entrepreneur Univ Jakarta & Alumnus UGM).





0 Response to "KEBEBASAN FINANSIAL"

Posting Komentar