Gadis kecil pengojek payung

Menggenggam payung besar bermotif bunga, ia berlari dalam curahan air hujan di pagi hari. Ia membelalakkan matanya yang indah, sesaat melirik langit yang mendung. “Oh, hujan, curahkan saja, biar aku mengantar lebih banyak orang, biar aku mendapatkan uang lebih banyak…..” ia berdoa dalam hatinya.

“Tante, biar aku mengantarmu, ……” ia berlari menuju seorang wanita yang baru turun dari bis. Dibiarkannya tante itu yang menggenggam payung, ia mengikuti dari belakang. Air hujan telah membasahi rambutnya, mengalir melewati wajah, jatuh membasahi pakaiannya. “Terima kasih,  Tante.” Ia menerima jasa diguyur hujan, hatinya tetap gembira.

“Oom, biar aku yang mengantarmu.” Ia berlari menuju seorang lelaki yang memegang tas kantor. Payung besar itupun pindah ke tangan Oom itu, ia mengikuti dari belakang. Air hujan telah membasahi rambutnya, mengalir melewati wajahnya, membasahi pakaiannya. “Terima kasih Oom ….” Ia terima lagi upah diguyur hujan, wajah yang dibasahi air hujan, timbul secercah senyum …

“Nek, biar aku mengantarmu ….” dengan tangan mungil ia menyeka air hujan dari wajahnya, sambil berlari mendekati wanita tua yang sudah beruban. “Cucu, bisa sakit jika diguyur hujan.” Kata si nenek  itu sambil  memegang payung sambil menuntun gadis kecil itu.
“Nenek, mau ke mana pagi-pagi begini?” Dengan membelalakkan matanya yang indah si gadis kecil menatap perempuan tua yang penuh kasih sayang.
“Aku mau pergi menjenguk cucuku yang bandel itu, semalam ia demam tinggi setelah diguyur hujan, hampir membuat panik aku nenek yang sudah tua ini …” perempuan tua itu sambil menyerocos, Nampak cemas di wajahnya. “Cucu, masuklah ganti pakaian dulu.”
Sang nenek itu menuntunnya masuk ke rumah kayu yang berpagar hijau, dan berkata dengan penuh kasih sayang, ia menatap dengan heran dan juga berterima kasih pada wajah asing namun ramah dan penuh perhatian itu. “Terima kasih,  Nek.” Ia terima kembali payungnya lalu cepat-cepat berlari keluar sambil berhujanan. Pikirnya, buat apa pakai ganti segala, sebentar keluar juga basah lagi.

“Cucu, mengapa tidak menerima uang nenek?” terdengar suara nenek yang gelisah. Ia berpaling dan memberi senyum pada wanita tua yang melambaikan tangan padanya. “Nenek, bagaimana aku bisa menerima uangmu? Engkau begitu ramah dan penuh kasih sayang seperti nenekku ….” Ia berkata dengan gembira, teringat akan neneknya yang sudah tiada.

“Dik, antar aku ….” Seorang gadis  berkemeja putih abu-abu dengan senyum melambaikan tangan padanya, payung besar itupun berpindah tangan ke tangan gadis ini. Ia mengikuti dari belakang. Bola mata yang bercahaya kini mulai terlihat sendu. Ia sedang berpikir apakah suatu hari ia dapat juga pergi ke sekolah dengan seragam semacam ini? Walaupun ia sangat berharap akan ada kesempatan, dan begitu mendambakan suatu hari dapat masuk sekolah SMU.
Saat ini ia baru berumur 12 tahun, baru saja menamatkan Sekolah Dasar, ke sekolah lanjutan saja masih merupakan tanda tanya. Ia pernah mendengar ibu berkata, jika tidak dapat mengumpulkan uang yang cukup, berarti tidak dapat melanjutkan sekolah lanjutan pertama. Ia sangat cemas dan sedih, namun bisa jadi apa hanya cemas dan sedih?
Sejak kecil ia sudah pandai mencari uang, pada saat hari tidak hujan, ia bisa membantu mencuci piring dan membersihkan lantai di warung sekolah.
Pada musim penghujan, ia akan membawa payung besar bermotif bunga kesukaan ibunya, pergi untuk mencari uang.
Ia anak yang gemar membaca, ibu juga berharap ia dapat lebih banyak mengenyam pendidikan. Tapi gaji ibunya kecil, ia tidak menyalahakan ibunya. Alangkah baiknya jika ayah masih ada. Tapi sayang, ayah sudah tiada, sama seperti nenek!

“Dik, sudah sampai …” Ia menengadahkan kepala seraya kaget, baru teringat bahwa sudah sampai di depan sekolah. Ia menerima kembali payung besar itu dan menatap kagum pada gadis SMU itu, dengan rasa gembira berlari masuk halaman sekolah.

“Oh hujan, turunlah terus, biar aku dapat lebih banyak uang. Membantu ibu mencukupi uang sekolah…” Ia berjalan dalam hujan yang semakin deras. Perutnya sudah mulai lapar, juga terasa dingin sekali. Teringat akan kata-kata nenek tua yang beruban itu, bisa masuk angin dan sakit jika diguyur hujan. Jiwa yang masih belia terasa gemetar sesaat, namun ia mewanti-wanti dirinya tak boleh jatuh sakit, itu akan sangat merepotkan.
Dengan tangan mungilnya ia terus mengelap rambutnya yang telah basah kuyup, lalu dengan sakuat tenaga memeras ujung gaunnya, berusaha memilin agar bajunya yang telah basah kuyup bisa kering!

“Dik, cepat kemari mengantar aku ….”, seorang ibu muda sedang menggendong bayi yang tertidur pulas menghampirinya. Ia tercengang dan segera melupakan akan lapar dan dingin, dengan gembira ia memberikan payungnya.

Hujan lebat mengguyurnya, wajah kecil yang cantik terlihat begitu letih dan pucat. Ketika ia mengulurkan tangan mungilnya yang gemetaran, menerima ongkos diguyur hujan, terasa menggigil seakan berada dalam hujan salju.
Dengan susah payah ia ingin memegang erat gagang payung. Seakan ada kekuatan besar dari payung besar sedang menghela tangan mungilnya yang telah kehabisan tenaga.
Dalam samar-samar ia seakan melihat payung besar itu menjelma kincir angin besar, mulai berputar-putar, tak henti-hentinya berputar. Angin dingin yang tak henti-hentinya menghembus, membuat langkahnya sempoyongan! Akhirnya payung besar bermotif bunga melepas dari genggaman kedua tangannya, terbang bersama angin...... oh gadis kecil yang malang ....

sumber: kumpulan cerpen yinhua

0 Response to "Gadis kecil pengojek payung"

Posting Komentar